This nice Blogger theme is compatible with various major web browsers. You can put a little personal info or a welcome message of your blog here. Go to "Edit HTML" tab to change this text.
RSS

Jumat, 10 Februari 2012

Masa Lalu Itu….

Semenjak diputus Tyo, perilaku Dila berubah 100% (seratus persen). Mahkota rambutnya telah habis karena frustasi. Ia memotongnya menyerupai anak lelaki. Semua aksesoris ceweknya pun juga ia buang. Kini hanya 5 gelang karet mirip kepunyaan pengamen jalanan yang melekat di salah satu pergelangan tangannya. Bahkan anting pemberian (Alm.) neneknya , ia tak pedulikan lagi. Pergaulan dengan teman-temannya membawa Dila semakin terjerumus. Dila telah mengenal yang namanya rokok dan minuman keras. Setidaknya 2 kali seminggu,ia mencoba hal itu. Aktivitas di sekolah akhir-akhir ini sering keluar masuk ruang BK(Bimbingan dan Konseling). Dila terlibat pertengkaran yang sebenarnya sangat sepele. Pak Budi (Guru BK) berulang kali menasehatinya. Tapi apa boleh buat, Dila hanya mendengarkannya lewat telinga kanan dan mengeluarkannya lewat telinga kiri. Semua nasehat dianggapnya tak berarti sebagai angin lalu. Kebiasaan merokok pun membuat Dila keras dan seenaknya sendiri.
“ Sampai kapan kamu akan seperti ini? Bapak capek manggil kamu terus,”tutur Pak Budi kepada Dila.
“ Udahlah Pak..nyantai aja,” balas Dila seenaknya.
“Bapak tidak segan-segan membuat surat panggilan orang tua. Kamu ngerti!!!”
“ Iya Pak…iya. Suatu saat nanti saya juga akan berubah,” timpal Dila sambil nggeloyor pergi.”
“ Dasar!! Anak nggak tahu diri,” gumam Pak Budi dalam hati.
Bel masuk berbunyi keras. Para siswa berhamburan menuju kelas. Tak terkecuali Dila.
“ Mati aku, belum ngerjakan PR,” gerutu Dila sambil berlarian di korodor sekolah.
“ Ma’af Bu, saya terlambat. Tadi ada urusan sebentar,”mohon Dila kepada Bu Heny, guru matematikanya.
“ Duduk kamu. Cepat kumpulkan buku PRmu,” bentak Bu Heny dengan keras.
“Kamu uda selesai PRnya??,” tanya Dila ke Maia teman sebangkunya.
“ Pasti kamu belum kan? Ngapain aja sih tadi?keluyuran terus,” jawab Maia ketus.
“ Nggak usah cerewet deh kamu. Bilang aja nggak mau nyonteki,” timpal Dila sewot.
Sial banget hati ini,kenapa nggak sakit aja sekalian. Biar ngeblong pelajaran matematika, terus tidur nyantai di UKS. Huuhh…. Lamunan Dila terpotong dengan adanya omelan Bu Heny.
“ Dila!!! Kalau kamu belum ngerjakan, nggak usah ikut pelajaran Ibu. Di luar sana.”
“ I….i…ya bu…Ssssa ya di luar.”
Mimpi apa aku semalam, sampai kayak gini. Meskipun diii luar kelas agak sepi,tetap aja ada manusia rese ngejek Dila. Terlihat juga 2 cewek sambiil membawa buku bawaannya berbisik-bisik ketika lewat di depan Dila. Dila membalasnya dengan lirikan tajam.
-o-
Brqkkk….tas punggung Dila terlempar jauh di sudut lemari. Semua buku tercecer tak tentu dimana-mana. Selepas ganti baju, Dila langsung pergi ke warnet. Tempat andalan disaat dia stress dengan hidupnya.
“ Mau kemana kamu??,” tanya Lia teman sekosnya yang baru pulang sekolah.
“ Ke warnet lah. Biasa….Kamu kok baru pulang??”
“ Tadi ada rapat OSIS sebentar, mbahas perpisahan kelas 3.”
“ Ouw gitu…Aku berangkat dulu ya.”
-o-
Sudah pukul 7 malam, Dila belum pulang. Sebagai temannya, Lia juga ikut khawatir. Berulang kali, ibu kostnya menanyakan keberadaan Dila. Padahal Lia berusaha menghubungi hpnya, tapi tidak aktif.
“ Assalamualaikum… Huh…..capek,mau mandi dulu ach,” tutur Dila tanpa bersalah.
Di kursi kamar, Lia hanya heran melihat tingkah sahabatnya yang semakin lama semakin nggak tahu aturan.
“Lii….nanti aku bukain pintu ya?? Aku mau keluar sama temanku,” pamit Dila tergesa-gesa.
“ Mau kemana lagi? Nggak belajar ? kok keluar terus? Jangan malem-malem pulangnya. Ingat kamu cewek,” sahut Lia sambil Dila berlalu.
-o-
“ Kok lama banget kamu? Ngapain aja?,” tanya Rey,teman baru Dila.
“ Sory brow..tadi ada problem sedikit. Yang lain mana? Sepi banget. Eh aku pesankan minuman dong?”
“ Okay. Nggak tahu tuh, tumben aja ngaret semua datangnya.”
Sambil meminum kopi susu pesanannya, Dila asyik ngobrol dengan Rey. Tak lama kemudian, teman-teman cowoknya yang terkesan brandal satu-persatu datang. Kegiatan kumpul-kumpul tanpa tujuan seperti ini muali kerap dilakukan. Hanya sekedar datang dan ngobrol. Dila juga tidak menolak, jika teman lainnya menawarkan rokok. Malahan kalau nggak ngrokok sama aja bo’ong.
“Gila…udah jam 10 malam. Tidur dimana nanti aku,”ucap Dila sembari melirik jam yang ada di tangannya.
“Eh…aku pulang dulu ya. Keburu dikunci kostku. Anterin dong Rey??.”
“ Iya ….10 menit lagi tapi.”
Seusai meneguk secangkir kopi, Rey segera tancap gas mengantar Dila pulang. Puntung rokok yang masih menempel di bibir tak lupa ia buang. Sepanjang perjalanan, pikiran Dila menesat jauh entah kemana. Tak henti-hentinya ia mencoba mengirim sms kepada Lia. Tapi gagal. Ketika ditelpon juga tidak pernak diangkat. Lia sudah terlelap di alam mimpi.
-o-
“ Li… Lia bangun…bukakan pintu dong? Uda dikunci ibu kost. Lia….cepetan ya,” paksa Dila dari jendela samping kamar Lia.
“ Apaan sich kamu, ganggu aja. Ngantuk tahu…,” sahut Lia sekenanya.
“ Ayolah Li……cepet. Aku uda nggak tahan,”
“ Tunggu sebentar…”
Sambil berjalan sempoyongan, Lia membukakan pintu untuk Dila. Dua makhluk kecil ini masih sempat terlibat pertengkaran. Sama-sama egois dan nggak mau ngalah.
“ Kapan kamu jadi sinting kayak gini? Uda berani pulang malem, bau rokok dan nggak jelas,” gerutu Lia sedikit emosi.
“ Eh…terserah aku ya mau gimana. Nggak usah ikut campur. Pikirin aja hidup loe,” cerocos Dila.
“ Sebagai sahabat aku punya hak kan, nasehati kamu!!”
“ Oh yea…..,” sahut Dila tanpa mempedulikan Lia berbicara.
-o-
“ Apa!! Ada tugas ekonomi?? Halaman berapa aja? Tanya Dila ke teman sekelas saat hpnya berdering.
“ Banyak bos…..Ada 10 halaman. 42-52.”
“ Wuuihhh……gila banyak banget!! Mati , belum ngerjakan.”
“ Beneran kamu belum?? Aku juga soalnya. Gimana kalau jam 1 & 2 kita nggak usah masuk. Jam 8 ntar baru aku jemput kamu,” tawar Dina.
“ Oke Din…bisa diatur. Gue suka gaya loe.hehehe,” sahut Dila dengan penuh senyum kemenangan.
Mendengar percakapan orang-orang gila itu, Lia tak bisa berbuat apa-apa. Toh percuma kala dinasehati, Dila pasti tak menggubrisnya. Daripada buang-buang waktu lebih baik berangkat ke sekolah.
-o-
Suasana pagi itu membuat Lia sumringah. Biasanya sich bagi remaja seperti ini gara-gara falling in love. Teriakan Tomi mengubah keadaan itu.
“ Li…..kamu itu sekost sama siapa aja sich?? Cewek apa cowok??”
“ Emangnya ada apa? Tumben nanya gitu?”
“ Ya nggak apa-apa. Aku kan tadi malem lewat depan anak-anak sinting. Itu sepertinya ada Dila sedang asyik ngobrol end ngrokok.”
“ Kamu yakin Tom?Nggak salah lihat kamu?”
“ Bener Dil…Aku lihat dia. Remang-remang sich sebelahnya ada Rey, teman SMPku dulu.”
“ Hmmm….pantas aja, tadi malam kamar kostku bau rokok. Eh tapi kamu jaga rahsia ini ya?”
“ Oke prend…Nyantai aja,” tutup pembicaraan Tomi sambil berjalan memasuki kelas.
-o-
Sepulang dari sekolah, Lia tidak langsung tidur. Cuci tangan dan membersihkan tempat tidur karena kamar terkesan seperti kapal pecah. Ketika akan membalikkan bantal, Lia menemukan tempat rokok yang masih ada isinya 3 batang. Lia menduga ini pasti kepunyaan Dila. Terselip rasa kecewa, tapi Lia takkan diam seribu bahasa. Langsung ia raih, hpnya yang tergeletak di atas meja.
“ Tom…kamu bisa bantu aku nggak??,” tutur Lia ketika telpon Tomi.
“ Iya… ada apa?”
“ Kalau ntar malem nggak ada acara, temenin aku ngikuti Dila dong…mau kan?”
“ Iya…bisa kok. Nanti aku jemput ya jam 8.”
-o-
Malam harinya, Lia dan Tomi mengikuti kepergian Dila keluar. Setelah diselidiki ternyata benar, Dila sekarang berteman dengan orang-orang sinting. Kecewa benar Lia mempunyai teman seperti itu. Tidak disangka teman yang sudah dianggapnya sebagai sahabat telah brutal gara-gara makhluk yang biasa disebut cowok. “ Tapi kenapa ya, Dila nggak pernah cerita ke aku masalah ini? Ada apa sebenarnya??,” pikir Lia dalam hati. Mungkin suatu saat Dila akan berubah seperti dulu lagi. Tanpa ada kehidupan kelam masa lalu.

Sindikat 13,goes to Semarang

Terik mentari seolah tak menghiraukan lambaian daun yang bergantian mengalun. Semilir angin berdesahan menghempas seluruh udara di ruang bumi. Perjalanan menulis Sindikat 13 kali ini akan berbeda. Siap bepergian jauh dan berpengalaman di Kota Lama, Semarang.
“Maksimal kalian sampai di stasiun pukul 12.00WIB”, tutur Pembina Zigzag di briefing kemarin. Hari itu aku harus menunggu temanku, Winda di kos-kosan sebelum berangkat. Sempat emosi, pasalnya yang ditunggu-tunggu tak datang jua. Berkali-kali di sms dan ditelfon,tidak-diangkat-angkat. Kasihanlah,seandainya dia aku tinggal. Setelah berlama-lama menunggu, akhirnya Winda muncul. Sebenarnya aku ingin marah dengannya,tapi berhubung ini adalah hari special diriku dan dirinya (bertepatan ultah) maka dipending dulu. Kita berdua berpelukan serta saling mengucapkan “Sweet seventeen”. Sembari tertawa sekaligus make a wish,kita merasa hari ini moment yang beruntung. Seusai menitipkan motornya Winda di rumah Ova,kita bergegas menuju gang kosku untuk menunggu angkot. Apesnya lagi,angkot yang ditunggu lama. Aku dan Winda memutuskan patungan naik becak sampai stasiun. Sambil menikmati pemandangan jalan raya,udara siang itu sungguh berdebu. Kotor,penat seolah tak menyurutkan semangat Abang Becak untuk mengayuh. Kulirik ke belakang,keringat yang mengucur di dahinya semakin deras. Handuk yang melingkar di lehernya sambil dielapkan ketika tetesan keringatnya hampir mengenai mata. Sepertinya kali ini memang rejekinya abang becak tersebut. Baru saja tiba di Bunderan Diponegoro beriringan angkot yang tadinya kami tunggu lewat.”Sebel dech …,”gerugutuku dalam hati. Sesampainya di stasiun,becak kami menabrak sepeda motor. Untungnya tidak terjadi apa-apa,keribut pun dapat dicegah.
Ternyata kehadiranku telah ditunggu-tunggu oleh rombongan. “Anak 2 ini, mesti datang telat,” ucap Pak Pra sambil tersenyum. Kemudian tak lupa mengucapkan “Happy Birthday” dan do’a menuju selalu sukses. Pelukan dari Ova serta jabatan tangan teman-teman lain juga bergantian tak dapat dielak. Terharu bercampur senang di ultahku yang ke-17 tahun. Beberapa menit kemudian, pria dengan kaos hijau bertuliskan GKS,Tahta alias Mr. Pra dan Mas Ali temannya memimpin rombongan kami memasuki ruang antrean kereta api. Sandal dengan merk “Carewil-nya” menuntun kami berjalan melewati lalu lalang penumpang lainnya. Para rombongan terlihat antusias melangkahkan kaki menaiki kereta dengan posisi cowok di belakang karena ladies itu first. Satu persatu pembina kami mencarikan tempat agar kami bisa 1 gerbong. “ Begini ya…rasanya naik kereta api mahal,” gumamku pelan. Waktu itu aku sebangku dengan Vivi dan di depanku ada Ova dan Winda. Sebuah kursi kuning panjang yang menyilahkan pantatku bersandar akan menjadi saksi bisu selama di perjalanan. Udara di kereta pun tetap terasa panas. Niatan temanku, Vivi membuka jendela kereta terlihat bakal menjadi guyonan. Pasalnya dia tidak bisa membuka. Aksi itu tanpa disengaja dilihat oleh Pak Pra. “Ngene lo Vi, ojo ndeso-ndeso to,” tutur beliau dengan khas jawanya. Sontak semua anak tertawa, termasuk aku yang sengaja menertawakan tepat di telinga kanannya. Seketika itu muka Vivi langsung berubah. Yang semula berbinar kini terlihat sedikit cemberut.
Seperti biasa,kegiatan jeprat-jepret turut menghias perjalanan menulis kali ini. Tidak pernah merasa malu meskipun banyak ditonton orang. Deruan suara kereta api menandakan akan melaju pasti. Aku mengira kereta api berjalan searah tempat dudukku,tapi ternyata tidak. Sebel dech…takut pusing soalnya. Pemandangan area sawah nan luas terbentang jauh di sekitar rel. Ayunan daun seolah mengucapkan selamat jalan meninggalkan Kota Ledre. Terlihat di sela-sela sawah Pak Tani sedang mencabuti rumput yang mengganggu padinya. Jarang sekali keadaan seperti itu dapat ku nikmati leluasa. Hembusan angin menyusup di jendela kami tanpa ragu. Setiap terpaan membawa kami menikmati alam tidur. Sungguh menyegarkan..Lamunan itu tiba-tiba saja dibubarkan oleh manusia depanku alias Ova yang mengajak kami ber-empat (aku, Vivi, Ova, Winda ) untuk seru-seruan. Dia mengusulkan abc-an, bersyaratkan yang kalah bagian muka dicoreti bedak. Akhirnya semua sepakat dan memulai permainan. Tanpa sadar satu-persatu diantara kami sudah banyak yang kena sanksi. Wajah yang awalnya sudah ditaburi bedak,kini semakin tebal seperti badut. Orang yang melihat kegilaan kami merasa heran juga. Sampai-sampai pasutri belakang kami merasa bĂȘte mendengat ocehan kami yang ramai. Celotehan lain dari penarik karsis menambah hebohnya permainan. Sebenarnya agak malu,tapi apa boleh buat. Tujuan kami kan agar perjalanan seru aja gitu..Setelah berlangsung lama, Vivi lah pemain terkalah. Coretan bedak hampir memenuhi raut mukanya,sedangkan lainnya hanya beberapa coretan. Moment terasa kurang kalau tidak diabadikan lagi.Di sudut kereta juga nampak peserta rombongan kami sibuk melakukan kegiatannya. Ada yang membaca Novel, yaitu Augustin. Dengan body languangenya,seakan-akan dia sedang memerankan pemain novel itu. Sedangkan lainnya ada yang asyik bercengkrama, menikmati pemandangan.dan ngemil tak henti-hentinya. Di kesibukan tersebut, pembinaku mengirim sms untuk para peserta dan wajib dibalas.Isinya yaitu perasaan kalian saat ini di dalam kereta. Balasannya bisa berupa ungkapan singkat ataupun puisi. Satu persatu sms itu dibaca Pak Pra sembari senyum. Karena penasaran, aku pura-pura meminjam hpya Pak Pra alias PI (Penjahat Inbox).hehe.
Tidak terasa pukul 16.30 WIB akhirnya tiba juga di Stasiun Tawang. Para rombongan turun dan segera menuju mushola untuk menunaikan ibadah dulu. Sungguh berbeda keadaan sore itu. Hiruk pikuk warga Semarang nampak sedikit semrawut. Apalagi di dekat bangunan Kota Lama, banyak lalu lalang kendaraan yang tak teratur. Setelah selesai,para rombongan di ajak jalan-jalan kearah kolam tepat bangunan lama tersebut dengan Mbak Ika, teman Pak Pra yang kuliah di Semarang. Dari kejauhan, kolam itu bagus tetapi seusai didekati airnya keruh dan sangat menjijikkan. Sebenarnya keadaan disini tenang dan bernuansa jaman dulu. Sekitarnya berdiri bangunan kuno peninggalan Penjajah Belanda. Disempatkan oleh para rombongan untuk foto bersama. Kemudian kami menggelar tikar membuka bekal makanan yang telah dibawa. Sayangnya aku tidak membawa nasi, jadinya makan ikut Yogi, Tika dan Vivi. Dasar anak pemalas.haha. Tetapi terasa sekali kekeluargaan saat itu. Ya…meskipun ada salah seorang yang tak kusuka sejak naik kereta tadi. Adzan maghrib telah tiba, yang tak berhalangan langsung menuju mushola tempat awal kita tadi. Sedang yang berhalangan tetap duduk di tikar sembari benar-benar terbawa keadaan saat itu. Sekitar 20 menitan, kami pun melanjutkan perjalanan mengitari bangunan Kota Tua. Berjajaran bangunan tua dengan tingginya, kokoh berdiri menjulang ke atas. Mbak Ika juga mengajak kami melewati jendela yang katanya pernah digunakan syuting film AAC (Ayat-ayat Cinta)ketika Fahri memberikan makanan kepada seorang wanita dengan cara sebuah wadah yang dikerek.Wah…jadi terbayang aku sebagai pemain wanita itu. Sebuah Gereja Blenduk yang dulunya adalah masjid menjadi tempat istirahat kami selanjutnya. Lagi-lagi kita menggelar tikar di pinggir jalan. Suasana saat itu terlihat sepi hanya lalu lalang kendaraan yang membuat sedikit bising. Kami juga tidak lupa untuk berfoto-foto ria dengan berbagai pose.
Pukul 20.00 WIB, Pak Pra menyewakan sebuah kendaraan yang akan membawa rombongan Sindikat 13 berkeliling mengitari Kota Semarang. Tidak seperti Bojonegoro, disini sangat ramai. Berbagai bangunan, pusat perbelanjaan dan masih banyak lagi terlihat indah serta tertata rapi. Aku sempat terkejut ketika melewati bangunan tua yang gelap. Bayanganku pasti di situ banyak penampakan makhluk halus. Dan ternyata bangunan tersebut adalah Lawang Sewu. Katanya kakakku sich, itu merupakan penjara penjajahan Belanda yang berdiri sejak tahun 1905. Satu persatu Sindikat 13 turun dan menikmati area seram itu. Sayangnya pembinaku melarang kami masuk, takut terjadi kesurupan.” Ingat anak-anak, tujuan kita bukan rekreasi tetapi perjalanan menulis,” tutur beliau dengan nada marah. Apa boleh buat kami harus menurut. Toh yang rugi andai terjadi apa-apa bermuara pada semuanya. Sebenarnya aku dan Winda menggebu-gebu ingin masuk ke bangunan tua itu tapi takut tidak bisa tidur dan terbayang-bayang. Terdengar mitos kalau dulu ada awak stasiun televisi yang masuk dan tak kembali. Menurut kabar orang tersebut dimakan makhluk halus serta tersesat jauh. Akhirnya Sindikat 13 menuju Tugu Muda yang berada di depan Lawang Sewu, Di tempat itu kita bisa merasakan mistisnya bangunan itu. Jika diumpamakan istilahnya Tugu Muda itu merupakan alun-alun Bojonegoro. Perbedaannya disini ramai oleh kawula muda, dengan jalan yang melintang di sampingnya biasa disebut Simpang Lima. Kulihat jam di hpku menunjukkan 21.10 WIB, tetapi para kawula muda terlihat baru keluar dari kandangnya. Beginilah keadaan kota yang jika dibandingkan daerah desa, dimana pukul 21.00 WIB para cewek harus sudah berada di dalam rumah. Tidak sedikit, para kawula muda menggunakan Tugu Muda itu sebagai tempat mesum. Disana sini banyak yang bergandengan tangan,mojok bahkan aku juga melirik sepasang manusia yang melakukan kiss.hehe. Padahal banyak lalu lalang orang yang melihatnya tetapi mereka sama sekali tak peduli.
Malam sudah semakin larut, perjalanan menulis kini akan menuju daerah Nggombel. Sebuah tempat asyik pinggir jalan yang bisa digunakan untuk menikmati Kota Semarang di atas bukit yang menurun. Lampu-lampu berkelap-kelip menambah indahnya suasana itu. Lengkap rasanya karena disitu tersedia penjual yang menawarkan berbagai makanan dan aneka minuman. Tetapi jangan kaget, rasa menunya tidak memuaskan dan mahal. “Disini yang mahal sebenarnya bukan makananya tetapi suasananya,” bisik Pak Pra kepada salah seorang temanku. Pukul 23.00 WIB rombongan Sindikat 13 menuju ke kos-kosan Mbak Ika untuk beristirahat. Sepanjang perjalanan
hanya mendengarkan Hasan dan Yogi bercerita. Setelah sampai di kos Mbak Ika,anak-anak cewek bersiap untuk ganti baju dan sholat isya’ bergantian. Maklum..kan antre. Tidak lama kemudian,semua telah sampai di alam mimpi. Terkecuali Tika dan Ririn yang belum mengantuk dan ngobrol asyik tentang Naruto. Sekitar pukul 03.30 WIB, Mbak Ika membangunkan kami agar segera bersiap pulang meninggalkan Kota Semarang. Ternyata Mbak Ika itu orangnya super baik. Pagi dini hari tadi,dia sudah menyiapkan makanan mie untuk kami. Sungguh rejeki yang tak terduga. Sebelum berpamitan,kami menyalami Mbak Ika satu-persatu. “ Makasih ya Mbak,sudah ditumpangi tidurnya. Jadi ngrepotin,” tuturku sambil menjabat tangannya. “ Iya…sama-sama dek,” balas Mbak Ika dengan senyuman.
Menuju stasiun Poncol, rombongan dimanjakan dengan alat transportasi mahal. Seperti biasa taxi yang kami tumpangi berjalan mulus tanpa halangan. Suasana pagi itu juga Nampak sepi serta lengang. Jarang sekali kendaraan lewat mendahului taxi kami. Sesampainya di Stasiun Poncol, Mr. Pra dengan sigap memesankan tiket untuk rombongan. Sekitar pukul 06.00 WIB, semuanya sudah berada di atas kereta. Semrawut memang pagi itu. Kereta yang satu ini sangat berbeda dengan yang kami tumpangi sewaktu berangkat. Berbagai penjual wara-wiri menawarkan barang dagangannya. Berbagai minuman, buah-buahan,keripik, nasi pecel,mainan anak kecil dan banyak lainnya. Aku dan teman-teman yang lain sempat merasakan nasi pecel ala Kota Semarang. Hemmm….rasanya nikmat,tak seperti pecelnya Bu Salam. Yang satu ini lebih mantap. Pedas manisnya sangat menyatu.Ada juga yang sampai berdesak-desakkan satu sama lain. Semua itu dilakukan hanya untuk mengais rejeki.Para pengamen pun silih berganti menyanyikan lagu andalannya. Lengkap sudah pagi yang cerah di hari tersebut. Beruntungnya tempat duduk kami saling berdekatan seperti kemarin. Jadinya kita bisa seru-seruan bareng. Di kereta itu tidak sengaja Pak Pra bertemu dengan Kak Hasan, alumni SMAda yang jago teater. Akhirnya diajak bergabung dengan kami. Kehadiran Kak Hasan bisa menambah riuhnya suasana. Aku juga sempat curhat dengannya. Bagaimana rasanya jadi anak kuliahan, pergaulan bebas di kota besar, enakan mana anak kuliahan dengan anak SMA dan lain sebagainya. Pertanyaan tersebut dijawabnya santai layaknya orang tak berdosa alias penuh humor. Terkadang Kak Hasan itu tidak bisa ditebak. Ketika ditanya serius,e..jawabnya ambuaradul.” Coba San, adek-adekmu ini kasih ilmu tentang kegiatan menulis,” pinta Pak Pra sabil siap memotret. “ Adek-adekku tersayang,menulis itu sangat penting. Dan jangan lupa sikat gigi sebelum tidur,” jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak. Sontak para pendengar langsung ikut tertawa. Dasar…anak yang rese. Di sepanjang perjalanan kita saling heboh dengan pengalaman yang baru saja terjadi. Seakan hanya mimpi serta ingin terulang kembali. Perjalanan menulis kali ini terbilang sukses tanpa hambatan. Yach….meskipun tidak jadi masuk Lawang Sewu, setidaknya pernah melihatnya secara live. Para rombongan sampai di Stasiun Bojonegoro pukul 11.00 WIB. Semua bersiap pulang dan berbagi cerita kepada teman lainnya. Sebelumnya Mr. Pra menyuruh kami berfoto bersama sebagai kenang-kenangan Sindikat 13.
“ Tetaplah berkarya anakku. Kalian adalah generasi muda yang dibanggakan. Sukses selalu,” tutur Pak Pra mengakhiri pertemuan itu. Kami pun pulang ke markas masing-masing beriringan perasaan bahagia. Tak lupa menjabat tangan guru kami yang penuh dengan semangat berkobar.







Dhanasty P.U
Anggota Sindikat 13
SMAdaBO


Nb lagi: baru sempat masukin ke blog.hehehe